Vaksinasi COVID-19 di RI Dimulai, Nakes Takut Protokol Mengendur

Lifestyle & Fashion

Life & Style / Lifestyle & Fashion

Vaksinasi COVID-19 di RI Dimulai, Nakes Takut Protokol Mengendur

Vaksinasi COVID-19 di RI Dimulai, Nakes Takut Protokol Mengendur

KEPONEWS.COM - Vaksinasi COVID-19 di RI Dimulai, Nakes Takut Protokol Mengendur Indonesia memulai vaksinasi COVID-19 perdana dan Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang mendapatkan suntikan vaksin di Indonesia, hari Rabu (13/01). "Tidak terasa sama sekali," ujar Presiden...

Indonesia memulai vaksinasi COVID-19 perdana dan Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang mendapatkan suntikan vaksin di Indonesia, hari Rabu (13/01).

"Tidak terasa sama sekali," ujar Presiden Jokowi setelah mendapat suntikan vaksin buatan Sinovac asal China di Istana Negara.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia, dr Daeng Faqih menjadi orang kedua orang yang divaksin.

Vaksinasi COVID-19 perdana di Indonesia ini juga disiarkan secara langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden dan terlihat mengedepankan pesan "aman" dan "halal".

Muncul dalam vaksinasi juga Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan, dan Rais Syuriah PBNU Ahmad Ishomuddin, yang memberikan pernyataan sebelum divaksin.

Presiden Joko Widodo Disuntik Vaksin COVID-19
Presiden Joko Widodo disuntik vaksin COVID-19 di Istana Negara, hari Rabu (13/01).

YouTube: Sektretariat Presiden

Khawatir "protokol kesehatannya menjadi kendur"

Berada dalam kelompok pertama yang akan mendapatkan vaksin di Indonesia, dr Andika Chandra Putra menyambut baik diprioritaskannya tenaga kesehatan (nakes).

Menurut dokter spesialis paru yang melayani tiga rumah sakit di Jakarta ini, vaksin akan membantu kerja tenaga kesehatan yang saat ini makin rentan terpapar.

"Tenaga kesehatan ini, apalagi dokter baru, ialah orang-orang yang risiko terpaparnya cukup besar," tutur dr Andika kepada ABC Indonesia.

"Sebagai berita, sampai tanggal 7 Januari itu ada 110 dokter baru yang tertular COVID-19 dan ada lima dokter paru yang meninggal dunia, jadi saya di satu sisi senang karena [tenaga kesehatan] dijadikan prioritas," tambahnya.

Ia sendiri sudah mendapat notifikasi melalui pesan singkat sebagai penerima vaksin dan siap menerimanya dua hal penting yang menjadi pertimbangannya, adalah UEA dari Badan POM dan kehalalan vaksin sudah terpenuhi.

"Saya terus terang optimistis. Kalau ada EUA dari BPOM dan MUI sudah melakukan sertifikasi halal, menurut saya nggak ada masalah sebetulnya. Ini pendapat saya pribadi ya."

Hal yang masih menjadi pertimbangannya merupakan soal efek samping setelah vaksinasi, meski ia tidak terlalu khawatir.

"[karena] untuk efek samping masih ada kesimpangsiuran walaupun saya dapat info [dari beberapa sumber] kejadian efek samping yang luar biasa sih sebenarnya tidak ada."

Namun, satu-satunya ketakutan terbesar dr Andika saat ini ialah sikap dan cara hidup masyarakat setelah program vaksin ini berjalan.

"Dengan digembar-bemborkannya vaksin, kekhawatirannya ada euforia dari masyarakat sehingga tidak menjalankan protokol kesehatan. Padahal sebenarnya vaksin kan butuh waktu yang lama [karena] saat ini baru ada tiga juta dosis vaksin, sementara kita butuhnya 400 juta dosis."

"Yang saya takutkan protokol kesehatan masyarakat semakin melemah, terbukti dari adanya angka penurunan pengguna masker."

Pemerintah diminta mengkomunikasikan pesan dengan jelas

Dokter Rakhmad Hidayat, dokter spesialis syarafdi RS Universitas Indonesia dan RS Sari Asih Ciputat menyambut baik vaksinasi dan prioritas kepada tenaga kesehatan, meskipun ia mengaku harus menunggu sebelum mendapatkan vaksin.

"Saya sebenarnya siap, cuman ya saya kebetulan punya kormorbid, jadi ya ditunda dulu. Saya ada diabetes, jadi saya termasuk yang tertunda [divaksin]."

Sama seperti dr Andika, dr Rakhmad lebih mengkhawatirkan komunikasi dan pesan yang sampai di masyarakat dibanding vaksin itu sendiri.

"Karena Sinovac memakai teknologi lama yang sudah digunakan vaksin-vaksin sebelumnya, maka kalau ditanya apakah aman, kita percaya vaksin ini aman sih," tuturnya kepada ABC Indonesia.

"Yang saya khawatirkan sebenarnya bukan vaksinnya sih. Saya selalu melihat vaksin sebagai jalan keluar terakhir, bukan jalan keluar utama. Pesan ini yang harus sampai dan jelas ke masyarakat."

"Kita enggak jelas informasinya, semua yang dikemukakan ialah soal emergency-nya, soal "vaksin sudah datang, kita harus disuntik segera, kalau enggak nanti bahaya", komunikasi ini yang menurut saya agak salah dari pemerintah ... sehingga seolah-olah [kesan yang ditangkap] pemerintah sudah terlanjur beli [vaksin], jadi harus digunakan."

dr Rakhmad Hidayat
dr Rakhmad Hidayat mengaku siap mendapatkan vaksin, namun masih tertunda karena kondisi komorbid.

Supplied: Koleksi Pribadi.

Menurutnya, pendekatan yang digunakan oleh pemerintah ialah memaparkan bahwa dalam kondisi seperti ini, selain mencari vaksin yang baik, juga yang bisa memenuhi jumlah yang dibutuhkan sehingga tidak ada anggapan negatif yang muncul soal vaksin dari China.

"Istilahnya, mungkin kita enggak perlu beli satu mobil BMW tapi bisa beli tiga mobil Innova, karena sama-sama bisa mengangkut sampai ke tujuan."

"Begitu pula dengan prioritas terhadap tenaga kesehatan, bisa dijelaskan kenapa nakes, karena diharapkan ada imun yang tinggi di nakes, supaya nakes enggak kena dalam dua-tiga bulan ke depan dan bisa memvaksin masyarakat dengan tenang."

Meski mengaku kurang yakin pada efikasi vaksin Sinovac, dr Rakhmad mengatakan keberadaan vaksin ini bisa membantu penurunan risiko penularan, dengan catatan kalau semua orang divaksin sambil tetap menjalankan 3M mungkin dalam satu hingga dua tahun ke depan.

"Sekarang uang enggak ada artinya"

Vaksinasi COVID-19 di Indonesia dimulai hari ini, saat angka indikator penanganan COVID-19 di Indonesia menunjukkan tanda bahaya.

Angka kematian karena COVID-19 di Indonesia telah mencapai setidaknya 24.000 dari 836.700 kasus, dengan lebih dari sepersepuluh dari angka kematian tersebut terjadi dalam dua minggu terakhir.

Tingkat kasus positif di Indonesia mencapai lebih dari 30 persen dalam pekan ini dan dilaporkan hampir semua rumah sakit sudah penuh, sehingga meninggalkan sejumlah pasien duduk menunggu berjam-jam di instalasi gawat darurat tanpa kepastian.

Rumah sakit yang penuh ini termasuk tiga rumah sakit yang ditangani dr Andika.

"Dulu bulan Oktober dan September kita masih bisa geser-geser pasien. Kalau ada karyawan rumah sakit atau kenalan yang harus dirawat, [saat itu] kami masih bisa bantu, tapi sekarang sulit karena kondisinya memang full."

Ia menambahkan, tidak ada yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan saat ini saat kapasitas rumah sakit sudah tidak lagi bisa menampung pasien, meskipun banyak pasien yang rela mengeluarkan dana berapapun agar bisa dirawat.

"Sekarang kalau saya lihat-lihat, uang nggak ada artinya."

"Ada pengusaha yang selama ini banyak uang, bahkan bisasanya dia ngurus ventilator, mereka ini juga menghubungi karena kesulitan mencari rumah sakit atau kamar ICU karena kapasitasnya memang sudah penuh," ujar dr Andika.

Dokter Andika mengingatkan, tempat tidur atau kamar mungkin saja dengan mudah ditambah, tapi tidak bisa menjawab kebutuhan tenaga kesehatan yang terbatas.

Angka Nakes Gugur
Jumlah Tenaga Kesehatan yang meninggal dunia (12/01).

Supplied: LaporCOVID-19

LaporCOVID-19 per hari Selasa (12/01) mencatat, lebih dari 600 orang tenaga kesehatan Indonesia telah meninggal dunia karena COVID-19.

Menurut dr Andika, menambah tempat perawatan akan berisiko pada tenaga kesehatan yang ada. Selain akan membuat tenaga kesehatan kelelahan dan rentan terpapar, kualitas perawatan juga akan menjadi menurun.

"Karena bayangkan, sebagai contoh saya di satu rumah sakit itu melakukan visit 30 sampai 40 pasien. Bisa enggak kira-kira saya mengetahui secara detil kondisi pasien? Kan enggak," kata dokter yang menangani tiga rumah sakit ini.

"Jadi kita menyiasati kalau kondisi pasien nggak berat-berat banget ya kita skip-skip aja gitu. Itu salah satu bentuk usaha kita untuk tetap melayani, walau kualitasnya jadi menurun."

Masyarakat dan pemerintah tidak boleh lengah

Setelah penyuntikan Presiden Jokowi hari ini, yang diikuti kelompok masyarakat dalam kategori prioritas, gelombang kedua vaksinasi akan dilaksanakan pada April 2021 hingga Maret 2022 meliputi tahap tiga sasaran vaksinasi adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi.

Kemudian, penyuntikan akan diberikan pada masyarakat yang termasuk kategori pada tahap empat, yaitu masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan pendekatan klaster, sesuai dengan ketersediaan vaksin.

Selama program vaksinasi berlangsung, baik tenaga kesehatan dan pengamat berharap masyarakat dan pemerintah tidak lengah.

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health di Griffith University di Australia mengingatkan, keberhasilan program vaksinasi dalam situasi wabah sangat bergantung pada efektifitas program tes, telusur, isolasi, dan karantina yang ditunjang taktik 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, membatasi mobilisasi, menjauhi kerumunan) dengan komunikasi risiko yang tepat.

"Kegagalan vaksinasi dalam menghentikan wabah bukan hal yang aneh dan sangat mungkin terjadi," kata dr Dicky.

"Sangat penting pemerintah melakukan program testing, tracing, isolasi, karantina serapi, sekonsisten, dan seserius program vaksinasi."

Hal senada disampaikan Dr Ines Atmosukarto, peneliti Biomolekuler dari Australian National University (ANU) dan Direktur Utama Lipotek Australia.

"Walaupun program vaksinasi sudah dimulai, masyarakat nggak boleh lengah. Ini bukan silver bullet dan masih jauh perjalanan," ujar

"Hidup kita tidak akan kembali normal di Indonesia untuk paling sedikit 18 sampai 24 bulan, dan itu harus kita sadari dan kita terima."

"Kalau kita mendapatkan itu dan mengubah cara hidup kita, mungkin pandemi akan lebih cepat berlalu," pungkas Ines.

Gelombang pertama vaksinasi dilakukan mulai hari ini hingga April 2021 dengan dua kelompok yang ditargetkan, adalah tenaga kesehatan, termasuk asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang, serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Sementara kelompok kedua merupakan petugas pelayanan publik, termasuk Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di bandara/pelabuhan/stasiun/terminal, serta petugas lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Comments