Kisah Mengharukan: Nasi Kotak Ibu Yang Terakhir

Inspirasi

Ragam / Inspirasi

Kisah Mengharukan: Nasi Kotak Ibu Yang Terakhir

Kisah Mengharukan: Nasi Kotak Ibu Yang Terakhir

KEPONEWS.COM - Kisah Mengharukan: Nasi Kotak Ibu Yang Terakhir Siang hari, aku berdiri di pintu gerbang sekolah bertindak sebagai pemandu lalu lintas, membantu anak-anak kelas satu pulang sekolah. Ibu Qin Yong, terlihat membawa kotak makanan menunggu di gerbang s...

Siang hari, aku berdiri di pintu gerbang sekolah bertindak sebagai pemandu lalu lintas, membantu anak-anak kelas satu pulang sekolah.

Ibu Qin Yong, terlihat membawa kotak makanan menunggu di gerbang sekolah. Aku berteriak, dan dia pun menoleh dengan wajah tersenyum malu.

O Guru!, aduh Bu! Bukankah aku sudah bilang? Sekolah melarang orang tua membawa nasi kotak untuk anak-anak. Jikalau setiap ibu seperti ini, gerbang sekolah nanti jadi penuh sesak. Jadi bagaimana kita membantu memandu mereka pulang sekolah?

Saya tahu, saya tahu!

Huh! Sudah tahu masih bawa juga, sama juga bohong, Ibu kan bisa menyuruhnya membawa sendiri!

Saya tahu, saya tahu! jawab ibu Qin Yong dengan cepat.

Ibu yang selalu bersikeras membawakan makan siang untuk anaknya itu.Entah sudah berapa kali mengucapkan kata-kata, Saya tahu, saya tahu.

Ibu yang setiap hari membawakan nasi kotak untuk anaknya itu selalu bertabrakan dengan anak-anak kelas satu yang pulang sekolah, sehingga sangat merepotkan pihak pemandu lalu lintas sekolah.

Qin Yong merupakan anak yang pendiam, pemalu dan patuh.

Suatu ketika saat belajar di kelas, dia tertidur, aku segera membangunkannya. Ada apa? tanyaku

Dia pun berdiri dengan tatapan galau, dan tidak menjawab.

Hari kedua di kelas, dia tertidur lagi, aku pun benar-benar tidak tahan, lalu dengan kesal memanggilnya menghadap.

Ada apa denganmu? Aku benar-benar sudah kesal, nada bicaraku pun mulai tidak dapat dikendalikan.

Tiba-tiba, dia meneteskan air mata. Sontak aku pun kaget melihatnya.

Ayo bicara!Kenapa kamu selalu tidur di kelas? Ibu saya dirawat di rumah sakit! Kemarin saya terus menemaninya di rumah sakit.

Seketika kemarahanku pun sirna, dan menyesal dengan sikapku barusan. Mengapa ibumu dirawat di rumah sakit? Sakit, kanker paru-paru! Darahku pun seketika berdesir mendengarnya.

Pikiranku masih terpaku pada Qin Yong yang fisiknya lemah ini.

Bagaimana kalau saatnya itu tiba, dan bagaimana dia akan melewati hari-hari yang panjang itu ke depannya?

Memikirkan ini, kekerasanku langsung luluh, iba, ikut merasakan kesedihannya.Saat makan, aku melihat isteriku menyuapi anak kami.

Dan seketika terbayang dalam benakku, saat melihat ibu Qin Yong secara diam-diam membawakan nasi kotak untuknya.

Keesokan harinya setelah pulang kerja, aku pun ke rumah sakit menjenguk ibu Qin Yong. Baru beberapa minggu tidak melihatnya, ibu Qin Yong tampak kurus dan mukanya tirus.

Aku benar-benar tak percaya dengan pandangan mataku, melihat wajahnya yang pucat pasi, dan kepalanya yang botak, apakah benar ini ibu Qin Yong yang aku lihat dihari-hari kemarin?.

Dia tampak terkejut ketika melihatku, dan mencoba berdiri. Tapi, begitu aku berdehem, ia pun memandangku.

Jangan berdiri! Jangan berdiri! Ter ima kasih, guru! Terima kasih! katanya terbata-bata.

Dia berusaha berseru, dan tampak air matanya berlinang. Di koridor rumah sakit, ayah Qin Yong berkata kepadaku.

Hanya sisa dua bulan lagi! Oh Tuhan ! Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa?

Sekembalinya ke sekolah, aku pun melaporkan semua yang terjadi pada kepala sekolah.

Ayahnya sudah berumur lebih dari enam puluh tahun, dan sekarang ibunya akan segera meninggalkan dunia ini,
apa kita bisa memulai penggalangan dana di seluruh sekolah? Tidak peduli berapa pun jumlahnya, yang penting bisa membantunya.

Kepala sekolah pun langsung menyetujuinya tanpa banyak tanya lagi. Setelah mengupayakan penggalangan dana, akhirnya kami mengumpulkan $52 atau sekitar Rp102,1 juta.

Ketika aku membawa uang itu ke rumah sakit, ibu Qin Yong sudah dalam keadaan koma.

Kami berencana membawanya pulang hari ini! Ayah Qin Yong, wajahnya tampak pucat dan tirus. Kepalaku berkedut seketika

Di kamar pasien, ayah Qin Yong berkata kepadaku : Guru, boleh saya minta bantuannya?

Katakan saja! Saya pasti akan membantu semampu saya.

Beberapa hari yang lalu, dia terus menggenggam tangan Qin Yong, berkata dengan sekuat tenaga: Ibu tidak bisa membawakan nasi kotak lagi untukmu!

Jadi saya minta tolong guru izinkan dia mengantarkan nasi kotak untuk yang terakhir kalinya.

Hanya pada saat mengantarkan nasi kotak, dia baru benar-benar merasakan kemuliaan sebagai seorang ibu. Mendengar permohonan itu, aku pun langsung mengangguk dengan perasaan campur aduk.

Mataku berkaca-kaca, berdiri di samping, siang itu aku bertindak sebagai guru pemandu lalu lintas.

Sayup-sayup, terdengar raungan sirine mobil ambulans memasuki gerbang sekolah. Itu dia ambulannnya sudah sampai!

Ayah Xin Yong dan seorang staf medis, mendorong seseorang yang terbaring di atas tandu pasien.

Ayah Xin Yong membeli sebuah nasi kotak, ibu Qin Yong yang berbaring lemah di atas brankar menjulurkan tangannya yang kurus pucat mengambil nasi kotak itu.

Dengan ditemani staf medis, perlahan-lahan mereka memasuki gerbang besi. Sementara di sisi lain, Qin Yong mengulurkan tangan kanannya, dan mengambil nasi kotak dari ibunya.

Ibu! Raung Qin Yong dalam isak tangisnya sambil memeluk ibunya .Saat itu, aku melihat dengan terang pipi ibunya yang cekung. Berkedut sebentar, seolah-olah mau bicara, tapi tidak terucapkan.

Ibu!Tidak!Tidak!Aku tak mau ibu pergi! Teriak Qin Yong sambil meratap memandang langit.

Melihat pemandangan itu, air mataku pun tak bisa kubendung lagi, mengalir deras membasahi wajahku.

Aku benci pada diriku sendiri, betapa kejamnya aku selama ini pada ibu Qin Yong!

Keesokan harinya, ibu Qin Yong akhirnya pergi dalam kedamaian. Sehari setelah upacara pemakaman ibu Qin Yong, ayah Qin Yong menemuiku di kantor, dan menyerahkan sebungkus kertas .

Guru! Ini ialah uang bantuan dari anda dan anak-anak untuk kami sekeluarga. Saya pikir masih banyak siswa lain yang lebih membutuhkannya. Jadi, saya kembalikan lagi uang ini. Terima kasih atas bantuannya

Selesai memberikan maksudnya, ayah Qin Yong meletakkan uang itu, lalu mengangguk, mohon pamit dan berlalu.

Uang itu seakan panas mendidih, langsung membakar merasuk relung hatiku. Setiap hari aku selalu mengajak Qin Yong ngobrol.

Aku khawatir dia tidak tahan cobaan atas kepergian ibunya, Guru! jangan khawatir, saya baik-baik saja! Guru tidak perlu khawatir dengan saya!

Qin Yong berkata padaku, Semenjak awal saya sudah tahu ibu akan segera pergi. Saya juga bukannya mau membantah kata-kata guru, menyuruh ibu untuk tidak membawa nasi kotak lagi. Karena, dalam sepanjang hari itu, saya baru bisa menikmati masakan ibu.

Hatiku seketika berdesir mendengar pengakuan Qin Yong, muridku, lalu aku bertanya padanya, Mengapa?

Ibu saya sangat lemah, dilarang masak, jadi ayah yang memasak di rumah.

Hanya pada saat ayah tidak ada, ibu baru secara diam-diam memasak. Dan ibu selalu bersikeras membawakan makan siang untuk saya.

Usai menceritakan semua itu, air mata Qin Yong pun berlinang membasahi pipinya .

Bagi teman-teman yang menyimak kisah ini, tidak perlu terlalu berlebihan dalam hidup,

Dengan adanya orang tua di sisi kita, itu barulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Jikalau ibu masih ada, maka jangan lupa untuk lebih menyayangi dan mencintainya dari hari sebelumnya.

Namun, bila sudah tiada, maka teman-teman harus ingat, Cinta kasih ibu merupakan kasih paling murni dan tanpa pamrih di dunia

Hargailah takdir pertemuan, bisa seiring bersama itu merupakan takdir pertemuan.

Bisa berjalan beriringan itu merupakan kebahagiaan. Bersikap sedikit baiklah pada diri sendiri

Karena umur hidup itu tidaklah panjang.Dan bersikap sedkit lebih baiklah pada orang-orang terdekat

Karena belum tentu akan berjumpa lagi pada kehidupan selanjutnya.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya sampai jumpa dalam kisah-kisah berikutnya.(eb)

Video Rekomendasi :

Banyak Desain Sarana Publik Kejam Terhadap Tunawisma, Tapi Tidak di Negara Satu ini

Comments