Kalau Dilan Sibuk Gombal, Evi Sylviani Daki Puncak Mandala

Spots & Destinasi

Travel / Spots & Destinasi

Kalau Dilan Sibuk Gombal, Evi Sylviani Daki Puncak Mandala

Kalau Dilan Sibuk Gombal, Evi Sylviani Daki Puncak Mandala

KEPONEWS.COM - Kalau Dilan Sibuk Gombal, Evi Sylviani Daki Puncak Mandala "Kalau tahun 1990-an Dilan sibuk gombal, kita sudah ekspedisi ke Puncak Mandala." Kalimat itulah yang pertama kali terlontar dari mulut Evi Sylviani, saat ia menceritakan perjalanannya pada tahun 1991...

"Kalau tahun 1990-an Dilan sibuk gombal, kita sudah ekspedisi ke Puncak Mandala." Kalimat itulah yang pertama kali terlontar dari mulut Evi Sylviani, saat ia menceritakan perjalanannya pada tahun 1991 mendaki puncak Mandala, salah satu puncak tertinggi di Indonesia.

Kala itu, kenang Evi, ia merupakan tim dari Indonesia pertama yang menjelajahi puncak dengan ketinggian 4.760 meter dari permukaan laut. Pendakian pertama kali menuju puncak Mandala ini sebelumnya pernah dilakukan oleh seorang berkebangsaan Belanda, tepatnya pada tahun 1953.

Tidak banyak pendaki yang berhasil mencapai puncaknya. Sulitnya trek yang harus dilalui, dan minimnya berita yang akurat perihal medan pendakian kala itu, membuat siapa saja yang menjajalnya mesti mempertaruhkan nyawa.

Hal ini seperti juga yang dirasakan oleh Evi. Buku bacaan seperti Pustaka Alam ialah satu yang mendorongnya untuk terus menjelajah.

"Tantangannya merupakan karena kita Tim Indonesia yang pertama kali ke sana, jadi berita mengenai medan sangat terbatas. Misal ada yang bilang ketinggiannya 4.600-an, ada juga yang bilang 4.700-an, ada yang bilang juga masih bersalju. Jadi itu kita benar-benar perhitungkan," kata perempuan kelahiran 1968 ini.

Belum lagi, saat itu teknologi untuk komunikasi masih sangat terbatas. Sehingga ia hanya memanfaatkan gelombang frekuensi untuk bisa berkomunikasi. Ditambah juga kamera yang masih menggunakan roll film. Maka tidak heran bila dokumentasi perjalanannya pun terbatas.

Saat mendaki, Evi beserta tim pendakian dari Wanardi yang total berjumlah lima orang, termasuk dirinya, bukan hanya sekadar menjelajah dan mendaki. Namun juga melakukan penelitian yang juga dibantu oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Ia juga ditemani oleh beberapa anggota TNI Angkatan Darat. Karena kala itu, daerah Puncak Mandala masih menjadi wilayah darurat militer. Tidak hanya itu, ia juga dibantu oleh porter asli orang Papua, beserta dengan guru, dan juga penginjil yang ikut serta dalam penjelajahannya.

Evi Sylviani di dalam ekspedisi Puncak Mandala pada 1991

Masyarakat Papua Sangat Terbuka

Menariknya, bukan rute atau pengalaman perjalanannya yang Evi ingat. Hal yang paling ia ingat justru interaksi dengan masyarakat Papua. Evi mengatakan bahwa masyarakat Papua sangat terbuka, bahkan begitu ingin melindungi dirinya dan sahabat satu timnya.

"Mereka itu sangat sensitif, sangat ingin melindungi kami. Memang mereka sebagai porter, tapi tidak hanya sebagai porter, tapi menjaga kami," kata Evi.

Saat itu, lanjut Evi, bayaran untuk seorang porter pun terbilang murah. Bahkan, mereka tidak mematok biaya secara khusus. Perhitungan pembayaran hanya dengan mengganti kebutuhan satu keluarga, yang kepala keluarganya ikut menjadi porter selama satu hari.

"Waktu itu kalau enggak salah Rp2.500 sehari. Dan mereka saat itu dari laporan tim advance kita, mereka memang butuh margarin dan garam, jadi itu saja bayarannya. Sesuai dengan apa yang dibutuhkan," kata dia.

Selama total ekspedisi 25 hari, alih-alih membagi pengetahuan kepada masyarakat Papua, Evi justru yang mendapatkan pengetahuan penjelajahan.

"Mereka punya ilmu navigasi yang luar biasa, kemudian membangun bivak juga sangat kuat, dan membuat api saat di alam. Bahkan mereka lebih ahli dari yang kita pelajari di pendidikan dasar di Wanadri," kata dia.

Evi Sylviani di dalam ekspedisi Puncak Mandala pada 1991

Setelah turun dan selesai menjelajah, seluruh pandangannya wacana Papua dan masyarakat berubah drastis. Evi menyebut bahwa pemberitaan yang dilakukan media di Jakarta seringkali tidak tepat menggambarkan masyarakat Papua.

"Banyak media yang bilang harus hati-hati, tapi ternyata mereka biasa saja. Bahkan mereka sangat menyambut, sangat mendapatkan. Tidak menganggap kita orang asing," kata dia.

"Makanya yang saya paling ingat justru interaksinya dibanding perjalanannya itu sendiri," Evi menambahkan. (ase)

Comments