Cerita Pemuda RI Puasa saat Kerja di Ketinggian Turbin Angin Australia

Lifestyle & Fashion

Life & Style / Lifestyle & Fashion

Cerita Pemuda RI Puasa saat Kerja di Ketinggian Turbin Angin Australia

Cerita Pemuda RI Puasa saat Kerja di Ketinggian Turbin Angin Australia

KEPONEWS.COM - Cerita Pemuda RI Puasa saat Kerja di Ketinggian Turbin Angin Australia Ribuan anak muda Indonesia pemegang visa berlibur sambil bekerja di Australia melakoni pekerjaan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, seperti menjadi teknisi di proyek konstruksi pembangkit li...

Ribuan anak muda Indonesia pemegang visa berlibur sambil bekerja di Australia melakoni pekerjaan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, seperti menjadi teknisi di proyek konstruksi pembangkit listrik tenaga angin.

Visa Kerja Sambil Berlibur Program Working Holiday Visa. Kesempatan bagi pemuda Indonesia usia 18-30 tahun untuk bisa berlibur sambil bekerja di Australia. Skor IELTS minimal 4,5Memiliki keterangan dari bank memilki dana minimal AU$ 5000, yang boleh juga rekening atas nama orang tua. Bila ingin kerja dua tahun, perlu setidaknya 3 bulan bekerja di daerah pedalaman atau pekerjaan tertentu. Dapatkan berita selengkapnya di situs resmi WHV dan waspada dengan tawaran yang menjanjikan dapat membantu

Audi Melsom semenjak lama memendam asa untuk melancong ke banyak tempat di dunia.

"Untuk itu saya harus menabung, tapi menabung yang cerdas, caranya dengan bekerja di negara yang pendapatannya sangat tinggi," kata Audi kepada Alfred Ginting dari ABC Indonesia.

Ketika mendengar berita wacana visa berlibur dan bekerja (work and holiday visa subclass 462) selama setahun bagi orang Indonesia yang berumur di bawah 30 tahun, Audi pun menyiapkan syarat yang diharapkan untuk mendaftar.

Kini Australia menyediakan kuota bagi 1500 orang Indonesia yang berusia kurang dari 30 tahun untuk bekerja di Australia.

Maret lalu Australia dan Indonesia meneken perjanjian perdagangan bebas yang salah satunya komitmen Australia membuka kuota WHV menjadi 4500 orang sampai tahun 2025 dengan penambanhan 500 kuota tiap tahun.

Audi dipanggil wawancara oleh Dirjen Imigrasi pada Januari 2018, dan sebulan kemudian ia mendapat kabar mendapat visa.

Pada bulan Mei ia pun mengundurkan diri dari pekerjaannya di sebuah stasiun televisi.

Ia menginjakkan kaki di Darwin, Teritori Utara (NT), Australia pada Juni 2018 dan menjalani beragam pekerjaan tidak tetap selama dua pekan.

"Saya pernah bekerja di kontruksi, memperbaiki atap rumah. Setelah itu saya dapat pekerjaan tetap di cafe untuk membantu di dapur, lalu dapat kerja di perkebunan semangka dan labu di Catherine, NT selama tiga bulan," kata Audi yang kini berusia 29 tahun.

Audi Molsem bersama teman-temanya pekerja perkebunan. Audi Molsem bersama teman-temanya dari beragam bangsa yang bekerja di perkebunan di Catherine, Teritori Utara, Australia.

Kemudian ia mendapat pekerjaan di perusahan kontraktor perkebunan yang menggarap lahan pihak lain.

"Pekerjaan berpindah-pindah dari perkebunan mangga, asparagus, cendana. Saya di sana untuk memenuhi syarat visa tahun kedua," kata Audi.

Untuk bisa mendapat visa tahun kedua, pemegang WHV harus bekerja di sektor dan daerah yang telah ditetapkan pemerintah selama 88 hari.

Setelah enam bulan di wilayah utara Australia, Audi pindah ke Sydney.

"Saya mencoba banyak sekali pekerjaan, dari bikin salad, kurir bersepeda di Uber Eats, pemindah barang (removalist), dan tenaga pembersih di stadion Allianz," kata Audi.

Sertifikasi bekerja di ketinggian

Suatu ketika di Facebook Audi membaca lowongan pekerjaan mereparasi turbin angin dari Windhoist, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di konstruksi kincir untuk pembangkit listrik.

"Sebenarnya mereka mencari permanent resident. Tapi saya nekad melamar, dan menyebut kalau saya ingin dan siap melakukan pekerjaan apa saja," kata Audi.

Tidak disangka, sebulan kemudian Audi dihubungi oleh perusahaan itu.

"Bosnya bilang ia ingin kasih kesempatan ke orang Indonesia karena mereka punya pengalaman yang baik dengan pekerja orang Indonesia. Selain itu istrinya juga orang Indonesia. Jadi saya sangat beruntung," kata Audi.

"Dalam tiga hari saya diminta bersiap untuk ikut pelatihan di Tasmania. Saya ke Victoria mengambil peralatan yang dibutuhkan untuk pelatihan dan bawa mobil ke Tasmania."

Pelatihan selama enam hari itu untuk mendapat sertifikat bekerja di ketinggian sebagai teknisi turbin angin yang diselenggarakan oleh Global Wind Organisation (GWO).

Audi Molsem memeriksa perlengkapan keamanan kerja Audi Molsem memeriksa perlengkapan keamanan kerja sebelum naik ke menara turbin angin.

"Biaya untuk sertifikasi itu kalau pribadi AU$ 7.000, kalau dari perusahaan AU$ 3.000. Saya ditanggung perusahan. Dan saya beruntung pelatihan langsung dilakukan di turbin angin, banyak pelatihan lain dilakukan di gedung tinggi," kata Audi.

Usai pelatihan, Audi kembali ke Sydney untuk mengemasi barang-barangnya dan pindah ke Ararat, 200 kilometer di barat kota Melbourne.

Skandal Korupsi 1MDB Malaysia Terkait Skandal Seks Industri K-pop

Hermin Krismiati tiba di Australia di tahun 2017.

Pemegang WHV Indonesia ini Buka Usaha di Australia

Fair Work Commission memutuskan upah minimum di Australia menjadi 740,80 dolar (sekitar Rp 7,5 juta) perminggu.

Australia Tetapkan Upah Minimum Rp7,5 Juta Seminggu

Lokasi proyek tak jauh dari Taman Nasional Grampians, salah satu destinasi wisata utama di Victoria, sekitar 30 menit berkendara dari kota Ararat.

Di awal bekerja Audi masuk dalam tim yang membangun menara turbin angin, pekerjaannya seputar perakitan awal seperti mengencangkan baut.

"Saya bekerja dalam tim dengan tujuh orang. Selama 10 hari mendirikan 5 menara," kata Audi.

Setelah 10 hari, Audi mulai bekerja di ketinggian, membersihkan turbin yang tingginya 130 meter.

Audi memulai pekerjaannya dengan membawa peralatan ke puncak menara dengan menapaki anak tangga, lalu membawa peralatan perbaikan turun dari puncak menara dengan tali pengaman yang tersambung dengan kerekan (winch) untuk mengontrol naik turunnya.

"Saat konstruksi komponen turbin jadi kotor karena sentuhan tangan teknisi, tergores, cat mengelupas. Jadi tiap menara selesai, harus diperbaiki supaya saat diserahkan dalam kondisi tepat," kata Audi.

Proyek ini menerapkan jam kerja yang panjang, mulai pukul enam pagi hingga pukul enam sore.

"Kadang lebih, bisa 13 jam. Kami kerja enam hari seminggu," kata Audi yang mendapat upah AU$ 35 per jam.

Proyek ini ditargetkan rampung Agustus 2019, dari 50 menara yang direncanakan 30 sudah berdiri.

Tantangan berpuasa

Audi merasakan cukup berat menjalani puasa dengan kondisi pekerjaannya saat ini.

"Tantangannya dehidrasi. Angin yang kencang bikin merasa lebih kering. Untungnya kadang kalau angin sangat kencang, kami hanya kerja sampai jam tiga sore," kata Audi.

Cuaca di daerah Grampians yang pegunungan biasanya lebih rendah daripada Melburne yang di pesisir, bahkan di pekan akhir musim gugur saat ini suhu mencapai -2 derajat Celcius.

Di Ararat, Audi menyewa rumah bersama tiga orang pemegang WHV lain yang berasal dari Indonesia.

"Tapi yang puasa hanya saya. Saya bangun jam empat untuk sahur. Biasanya saya masak, kadang saya masak cukup banyak waktu akhir pekan untuk beberapa hari. Berangkat ke proyek jam 5.30," kata dia.

Saat ini di proyek itu ada enam orang pekerja Indonesa yang semuanya pemegang WHV.

Audi Moslem duduk di meja di atas bukit Audi Molsem menikmati hari libur dengan berjalan-jalan atau memasak bersama teman-temannya.

Meski pekerjaannya sangat melahkan, Audi merasakan tubuhnya lebih bugar dan berotot semenjak di Australia.

"Stamina jauh lebih bagus. Cocok sekali karena bulan Oktober nanti saya ingin ke Everest Base Camp lewat Nepal. Saya juga ingin ke Kashmir. Saya akan ambil liburan sebulan."

Sepulang berlibur Audi akan mencari pekerjaan yang bisa untuk memenuhi syarat visa tahun ketiga.

"Saya ingin ke Adelaide juga ke Cairns, menyelam di Great Barrier Reef. Itu keinginan lama saya," kata dia.

Bila mendapat visa tahun ketiga, Audi bisa bekerja di Australia hingga Juni 2021 sambil mengerjakan ambisinya membuat buku perjalanan.

Sejauh ini Audi sangat menikmati kesehariannya di Australia.

"Di sini sistem kerja sangat fair, dan orang sangat egaliter. Di Indonesia banyak orang sering melihat orang asing terlalu tinggi, padahal di sini mereka menganggap kita sama saja. Jadi kenapa kita harus rendah diri."

Simak informasi lainnya dari ABC Indonesia.

Comments