Apakah Tes IQ Masih Bisa Mengukur Tingkat Kecerdasan dengan Tepat?

Lifestyle & Fashion

Life & Style / Lifestyle & Fashion

Apakah Tes IQ Masih Bisa Mengukur Tingkat Kecerdasan dengan Tepat?

Apakah Tes IQ Masih Bisa Mengukur Tingkat Kecerdasan dengan Tepat?

KEPONEWS.COM - Apakah Tes IQ Masih Bisa Mengukur Tingkat Kecerdasan dengan Tepat? Selama lebih dari 100 tahun, tes IQ telah banyak digunakan untuk menentukan apakah seseorang dianggap pintar, jenius atau di bawah rata-rata. Namun belakangan ini angka tes IQ di seluruh dunia dilapor...

Selama lebih dari 100 tahun, tes IQ telah banyak digunakan untuk menentukan apakah seseorang dianggap pintar, jenius atau di bawah rata-rata.

Namun belakangan ini angka tes IQ di seluruh dunia dilaporkan mengalami penurunan, dan ini membuat para peneliti mempertanyakan apakah sudah waktunya untuk memperluas pemahaman mengenai apa yang dimaksudkan dengan kecerdasan.

Tes IQ yang pertama kali dikembangkan oleh psikolog asal Prancis Alfred Binet ialah alat ukur kecerdasan yang paling banyak digunakan di dunia.

Angka IQ 100 menunjukkan bahwa kecerdasan kita berada di tingkat rata-rata, dengan angka di atas 130 dianggap jenius, sementara mereka yang berada di bawah angka 70 dinilai mempunyai gangguan kecerdasan.

Apa yang terjadi sekarang ini menurut Dr Tony Florio seorang psikolog klinis dan pengajar senior di Universitas New South Wales di Sydneya ialah bahwa tes IQ yang ada sekarang ini hanya menguji kecerdasan di bidang tertentu saja.

Teori saya mengatakan bukan bahwa angka tes IQ sekarang menurun, namun tes IQ tidak menyesuaikan diri dengan bagaimana otak kita bekerja sekarang ini." kata Florio.

Menurut Florio, tes IQ yang ada sekarang hanya menguji kecerdasan di bidang tertentu saja, sehingga sebenarnya kegunaannya terbatas.

Tony sits on a bench under a tree looking at the sky. Tony Florio ialah psikolog klinis yang mengkhususkan diri pada masalah IQ.

ABC RN: Farz Edraki

Dr Florio sudah lama meneliti mengenai kegunaan tes IQ dan mengatakan yang diuji dalam tes merupakan penguasaan bahasa, pengetahuan umum dan pemecahan masalah.

Namun menurutnya, tes tersebut tidak menguji mengenai motivasi, kepribadian dan kreativitas.

Dia tidak sendirian dalam mengkritik tes IQ yang ada

Dr Florio mengatakan sudah lama terjadi perdebatan mengenai apakah hanya ada satu tingkat kecerdasan saja.

Menurutnya, tes IQ yang ada tidaklah berhasil mengakomodasi bahwa "manusia mempunyai begitu banyak aspek kecerdasan di dalam diri mereka."

Dan pembuat tes IQ ini sekitar 100 tahun lalu Alfred Binet juga sudah menyadarinya ketika dia mengembangkan tes tersebut, yang pada awalnya digunakan untuk mengukur usia mental seorang anak.

Binet ketika itu sudah menekankan bahwa kecerdasan merupakan sebuah konsep luas yang tidak bisa ditentukan dengan angka tertentu.

Namun ketika itu dia mengembangkan tes untuk mengidentifikasi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar.

Menurut Dr Florio, Prancis merupakan negara pertama yang memberlakukan pendidikan universal bagi semua warganya, dan mencari alat tes guna menentukan mana murid yang mengalami masalah belajar sehingga perlu dibantu.

Florio mengatakan lebih mudah membandingkan ketika kita masih kanak-kanak, karena setiap anak akan diharapkan mencapai kemampuan tertentu di usia tertentu.

Bila seorang anak mencapai kemampuan tersebut di usia yang lebih muda, maka mereka dianggap sebagai lebih cerdas, demikian pula dengan yang terlambat dianggap kurang cerdas dibandingkan yang lain.

Di tahun 1916, seorang psikolog di Amerika Serikat mengadaptasi tes IQ ini untuk digunakan bagi militer AS dan semenjak itu tes IQ ini digunakan oleh banyak sekali institusi, dan tidak sekedar di sekolah saja.

Dampak dari efek Google

Semenjak adanya pengukuran kecerdasan dilakukan di tahun 1906 tersebut, angka kecerdasan sampai belakangan ini terus meningkat, hal yang dalam dunia psikologi disebut dampak Flynn.

Artinya, rata-rata mereka yang menjalani tes akan mendapat angka lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, dan artinya manusia sekarang lebih cerdas dibandingkan masa sebelumnya.

Menurut Dr Florio, faktor seperti meningkatnya gizi, dan juga kesehatan ibu dan juga akses terhadap pendidikan membuat orang semakin cerdas.

Bahkan menurunnya jumlah anak dalam keluarga juga memberikan pengaruh, karena dengan "semakin sedikitnya anak, maka perhatian ke anak menjadi lebih besar."

Namun sekarang, yang terjadi justru angka kecerdasan menurun, terutama di negara-negara Eropa, yang banyak melakukan penelitian mengenai hal tersebut.

image_title

Demi Prediksi Kematian, Uji Genetika Marak Dilakukan di Australia

image_title

Puluhan Wanita Arab Saudi Minta Suaka di Australia

image_title

Pencari Suaka Anak Terakhir akan Segera Dikeluarkan dari Pulau Nauru

Fenomena baru ini disebut sebagai kebalikan dari dampak Flynn.

Menurut Dr Florio, penelitian yang dilakukan selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa angka kecerdasan di negara-negara maju menurun.

"Secara logis, seharusnya angka itu tidak naik atau turun, namun yang ada justru menurun." kata Dr Florio.

Davina Bell standing in hallway. Davina Bell ialah pengarang buku anak-anak yang baru menerbitkan buku berjudul 'All the Ways to be Smart'.

ABC RN: Fiona Pepper

Menurut Dr Florio, ada beberapa teori untuk mejelaskan hal ini.

"Ada teori yang disebut sebagai efek Google." katanya.

"Karena kita sekarang banyak sekali menyerahkan daya ingat kita dan tugas kognitif lain kepada mesin, maka kita tidak membangun kemampuan mengingat, hal yang diukur oleh tes IQ."

Dr Florio mengatakan bahwa penjelasan lainnya ialah bahwa "kita tidak bisa meningkatkan kecerdasan terus menerus."

Namun apakah penurunan angka tes berarti kecerdasan kita juga berkurang?

Dr Florio tidak sependapat dengan hal tersebut.

Dia mengatakan bahwa sekarang ini mungkin tidak perlu lagi bagi kita mengingat pengetahuan umum yang bisa kita dapatkan dari mesin pencari seperti Google.

Dan oleh karena itu, tes IQ yang ada harus berubah untuk bisa mengukur kecerdasan.

Lebih dari satu kemungkinan untuk disebut pintar

Salah seorang pengarang buku anak-anak Davina Bell yang melakukan penelitian mengenai pendekatan alternatif mengenai kecerdasan, yakin bahwa ada lebih dari satu cara untuk disebut pintar.

Dia mengatakan sudah lama merasa bahwa kegiatan kreatif sering kali tidak banyak diukur dalam alat tes IQ tradisional, hal yang dibicarakan dalam bukunya, All the Ways to be Smart (Banyak sekali Cara Untuk Menjadi Pintar).

An illustration of students sitting in a classroom Davina ingin menulis buku anak-anak yang menunjukkan bahwa ada banyak cara untuk bisa menjadi 'pintar'.

Supplied: Davina Bell

Ketika sedang meneliti bagi penulisan bukunya, Bell menemukan buku karangan psikolog dari Harvard University di Amerika Serikat Howard Gardener dengan teorinya mengenai Multiple Intelligences (Kecerdasan Jamak).

"Gardener mengatakan dari pada hanya melihat kecerdasan sebagai sesuatu yang didominasi oleh satu kemampuan umum, kita harus melihatnya sebagai serangkaian kemampuan." kata Bell.

Gardener menggambarkan adanya sembilan kategori untuk mengukur kecerdasan termasuk kemampuan olah tubuh, seperti koordinasi tangan mata yang baik, kecerdasan hubungan interpersonal seperti bisa berkomunikasi dengan efektif, dan kecerdasan musik.

Dr Florio mengatakan bahwa tes IQ yang ada masih bisa digunakan untuk mendiagnosa kondisi seperti autisme, disleksia atau tingkat kecerdasan yang rendah.

Namun dia, sama seperti Bell menyetujui pendekatan yang dilakukan Gardener yang menunjukkan konsep kecerdasan yang lebih luas dan lebih sesuai dengan dunia modern.

"Gardener menunjukkan adanya keterbatasan tes IQ dan masalah pada fokus satu aspek saja. Kita sebagai manusia ialah individu yang kompleks." kata Dr Florio.

Lihat berita lengkapnya dalam bahasa Inggris di sini

Comments